Komando Alam
Oleh
I Putu Mas Dewantara
Tumpukan kayu yang disusun rapi mulai disulut dengan obor kuning
keemasan. Seketika api berkobar membakar tumpukan kayu dan jenasah yang ada di
atasnya. Semua orang mengenakan pakaian serba putih. Melihat ini semua aku teringat upacara pembakaran
jenasah di India.
Tempat pembakaran ini terletak di sebuah pulau kecil yang dikelilingi
oleh perairan. Di tengah-tengah
sungai besar. Ini merupakan tempat khusus untuk pembakaran jenasah. Penduduk
harus menyebrangi sungai yang memiliki sebuah jembatan bambu tua untuk sampai
ke pulau kecil ini.
Beberapa jam yang lalu jenasah
itu masih berbaring di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu
yang diperoleh dari hutan. Semua rumah di desa ini mempunyai bentuk dan ukuran
yang terlihat sama. Aku merasa berada disebuah desa tua, desa
yang tertinggal waktu.
Desa ini di kelilingi oleh
hutan yang mempunyi kayu-kayu besar dan semak belukar. Ketika saya dan penduduk
berkumpul di sebuah rumah tempat jenasah itu dibaringkan, tiba-tiba di atas
kami melintas sebuah pesawat tempur milik TNI AU yang sedang berpatroli.
Anehnya desa ini tidak terpantau oleh radar. Tak terjangkau mata dalam pesawat.
Mungkin karena tertutupi cabang dan ranting serta daun yang lebat dari
pohon-pohon besar.
Keanehan semakin menjadi saat aku mendengar salah seorang penduduk mengatakan ”selamanya kita tak akan
pernah ada”. Kata-katanya membawa berjuta pertanyaan ke dalam benakku.
Jenasah yang berbaring itu
akhirnya diangkat dengan sebuah keranda yang terbuat dari dua buah batang pohon
berukuran kecil dan tali yang terbuat dari bambu. Keranda ini mirip tandu yang
dibuat oleh para pramuka saat menggotong temannya yang sedang sakit.
Di hutan ini ternyata ada sebuah jalan setapak yang langsung menuju pinggiran sungai. Jalan ini
nampaknya jarang dilalui. Ranting-ranting pohon menutupi jalan, sehingga di
depan penandu mayat memerlukan
dua orang dengan pisau besar
berjalan sambil memotong ranting yang menghalau jalan.
Sesampai di pinggir sungai,
jenasah dimandikan di sebuah gua yang tampak sedikit menyeramkam. Dari atap gua
yang tak rata keluar titik-titik air yang digunakan untuk memandikan jenasah.
Hanya empat orang penandu jenasah itu yang boleh masuk serta seorang yang
dituakan oleh penduduk desa. Yang lain menggu di luar tanpa sepatah katapun.
Mereka orang-orang yang jarang bicara. Tapi semua kegiatan berlangsung dengan
rapi. Tanpa ada komando.
Kebiasaan telah membentuk mereka. Teori behaviorisme.
Akhirnya proses pemandian
telah selesai. Mayat akan dibawa ke pulau kecil di seberang sana. Namun air
sungai sedang besar, jembatan bambu tua ditenggelamkan air. Yang terlihat hanya tali untuk berpegangan saja. Aku kuatir melihat ini, tapi tak seperti itu dengan
mereka. Mereka tetap tenang. Mereka berjalan selangkah demi selangkah.
Singaraja, 2 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar