Minggu, 06 Mei 2012


Komando Alam
Oleh I Putu Mas Dewantara

Tumpukan kayu yang disusun rapi mulai disulut dengan obor kuning keemasan. Seketika api berkobar membakar tumpukan kayu dan jenasah yang ada di atasnya. Semua orang mengenakan pakaian serba putih. Melihat ini semua aku teringat upacara pembakaran jenasah di India.
Tempat pembakaran ini terletak di sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh perairan. Di tengah-tengah sungai besar. Ini merupakan tempat khusus untuk pembakaran jenasah. Penduduk harus menyebrangi sungai yang memiliki sebuah jembatan bambu tua untuk sampai ke pulau kecil ini.
Beberapa jam yang lalu jenasah itu masih berbaring di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu yang diperoleh dari hutan. Semua rumah di desa ini mempunyai bentuk dan ukuran yang terlihat sama. Aku merasa berada disebuah desa tua, desa yang tertinggal waktu.
Desa ini di kelilingi oleh hutan yang mempunyi kayu-kayu besar dan semak belukar. Ketika saya dan penduduk berkumpul di sebuah rumah tempat jenasah itu dibaringkan, tiba-tiba di atas kami melintas sebuah pesawat tempur milik TNI AU yang sedang berpatroli. Anehnya desa ini tidak terpantau oleh radar. Tak terjangkau mata dalam pesawat. Mungkin karena tertutupi cabang dan ranting serta daun yang lebat dari pohon-pohon besar.
Keanehan semakin menjadi saat aku mendengar salah seorang penduduk mengatakan ”selamanya kita tak akan pernah ada”. Kata-katanya membawa berjuta pertanyaan ke dalam benakku.
Jenasah yang berbaring itu akhirnya diangkat dengan sebuah keranda yang terbuat dari dua buah batang pohon berukuran kecil dan tali yang terbuat dari bambu. Keranda ini mirip tandu yang dibuat oleh para pramuka saat menggotong temannya yang sedang sakit.
Di hutan ini ternyata ada sebuah jalan setapak yang langsung menuju pinggiran sungai. Jalan ini nampaknya jarang dilalui. Ranting-ranting pohon menutupi jalan, sehingga di depan penandu mayat memerlukan dua orang dengan pisau besar berjalan sambil memotong ranting yang menghalau jalan.
Sesampai di pinggir sungai, jenasah dimandikan di sebuah gua yang tampak sedikit menyeramkam. Dari atap gua yang tak rata keluar titik-titik air yang digunakan untuk memandikan jenasah. Hanya empat orang penandu jenasah itu yang boleh masuk serta seorang yang dituakan oleh penduduk desa. Yang lain menggu di luar tanpa sepatah katapun. Mereka orang-orang yang jarang bicara. Tapi semua kegiatan berlangsung dengan rapi. Tanpa ada komando. Kebiasaan telah membentuk mereka. Teori behaviorisme.
Akhirnya proses pemandian telah selesai. Mayat akan dibawa ke pulau kecil di seberang sana. Namun air sungai sedang besar, jembatan bambu tua ditenggelamkan air. Yang terlihat hanya tali untuk berpegangan saja. Aku kuatir melihat ini, tapi tak seperti itu dengan mereka. Mereka tetap tenang. Mereka berjalan selangkah demi selangkah.


Singaraja, 2 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar