Minggu, 06 Mei 2012


Antek-Antek Malam
Oleh I Putu Mas Dewantara
Gelap….
Gelap menyusup perlahan seiring rotasi bumi yang bergulir dari barat ke timur. Menyerang surya hingga tergelincir di pangkuan bumi. Padam. Gelap mengepakkan sayapnya dan mengikatkannya pada pertiwi. Angin selatan yang berhembus dari benua Australia membawa uap air yang semakin memberat. Hingga awan kumulus tak kuat lagi menahan dan menjatuhkannya dalam bentuk gumpalan-gumpalan kecil seukuran biji jagung. Atau mungkin lebih mirib jarum terputus. Entahlah. Hujan. Menghapus butiran debu yang beranak memeluk erat sisi daun santen yang mulai menguning. Menjatuhkan daun tua dari ranting kokoh. Dan membuat licin getah yang tergantung pada cabang. Tertempel pada batang. Bak gulali yang meleleh. Cokelat mengkilap.
Cahaya….
Cahaya memudar. Gelap semakin mengental. Retina haus bentuk. Tak ada bayangan nyata, terbalik, dan diperkecil. Cahaya telah dicuri(?). Reaksi gelap terjadi. Stomata menyerap oksigen. Menghembuskan karbon dioksida. Perang perebutan oksigen.
Hujan usai dan sunyi telah tercipta. Angin berhembus perlahan. Mengangkat aroma khas tanah kering dan aspal yang baru dimandikan hujan. Raungan mesin mobil dan motor merobek sunyi. Sunyi yang tak sempurna. Sepetak cahaya tercipta oleh mesin-mesin itu. Memperlihatkan guguran bunga merah pohon mahoni. Dan mengusik seekor burung crukcuk yang bertengger pada ranting pohon dengan bulu basah kuyuk. Menggigil.
Di sini dingin tercipta saat sunyi mulai terasa. Mungkin sunyi memiliki genotif yang mirib sunyi. Atau sunyi adalah saudara malam (?). Pun sayong tipis menyelimuti malam. Mempertebal dingin. Menyusup melalui pori-pori yang beradaptasi menyempit. Terbungkus kain tebal. Mencoba memperlambat laju darah dalam nadi.
Aspal, sisa akhir pembakaran gas bumi dalam suhu tinggi. Adalah bahan alas pijakan. Membelah hutan, mengitari bukit. Tanjakan. Tikungan. Ilmu Fisika mengenai gaya gesek dan bidang miring diterapkan sempurna. Orange dan kuning yang bercampur fosfor teroles pada besi dan beton pembatas jalan. Membalikkan cahaya.
Koloni laron bermigrasi mencari cahaya. Cahaya menjadi tujuan akhir. Meghabiskan usia di bawah lampu penerang rumah penduduk. Mati karena kehilangan sayap atau karena tercebur ke dalam baskom yang terisi air. Atau mati di tangan anak-anak sebagai mainan malam. Mati demi sebuah kesenangan. Sungguh mulia. Tragis.
Yehkuning, 7 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar