Antek-Antek
Malam
Oleh
I Putu Mas Dewantara
Gelap….
Gelap menyusup perlahan
seiring rotasi bumi yang bergulir dari barat ke timur. Menyerang surya hingga
tergelincir di pangkuan bumi. Padam. Gelap mengepakkan sayapnya dan mengikatkannya pada pertiwi. Angin selatan yang
berhembus dari benua Australia membawa uap air yang semakin memberat. Hingga awan kumulus tak kuat lagi menahan dan menjatuhkannya dalam bentuk
gumpalan-gumpalan kecil seukuran biji jagung. Atau mungkin lebih mirib jarum terputus.
Entahlah. Hujan. Menghapus
butiran debu yang beranak memeluk erat sisi daun santen yang mulai menguning. Menjatuhkan daun tua dari ranting kokoh.
Dan membuat licin getah yang tergantung pada cabang. Tertempel pada batang. Bak
gulali yang meleleh. Cokelat
mengkilap.
Cahaya….
Cahaya memudar. Gelap semakin mengental. Retina haus bentuk. Tak ada bayangan nyata,
terbalik, dan diperkecil. Cahaya telah dicuri(?). Reaksi gelap terjadi. Stomata
menyerap oksigen. Menghembuskan karbon dioksida. Perang perebutan oksigen.
Hujan usai dan sunyi telah
tercipta. Angin berhembus perlahan. Mengangkat aroma khas tanah kering dan
aspal yang baru dimandikan hujan. Raungan mesin mobil dan motor
merobek sunyi. Sunyi yang tak sempurna. Sepetak cahaya tercipta oleh
mesin-mesin itu. Memperlihatkan guguran bunga merah pohon mahoni. Dan mengusik
seekor burung crukcuk yang bertengger pada ranting pohon dengan bulu basah
kuyuk. Menggigil.
Di sini dingin tercipta saat
sunyi mulai terasa. Mungkin sunyi memiliki genotif yang mirib sunyi. Atau sunyi adalah saudara malam (?). Pun sayong tipis menyelimuti malam.
Mempertebal dingin. Menyusup melalui pori-pori yang beradaptasi menyempit.
Terbungkus kain tebal. Mencoba memperlambat laju darah dalam nadi.
Aspal, sisa akhir pembakaran gas bumi dalam suhu tinggi. Adalah bahan alas pijakan. Membelah hutan, mengitari bukit. Tanjakan. Tikungan. Ilmu Fisika mengenai gaya gesek dan bidang miring diterapkan sempurna.
Orange dan kuning yang bercampur fosfor teroles pada besi
dan beton pembatas jalan. Membalikkan cahaya.
Koloni laron bermigrasi
mencari cahaya. Cahaya
menjadi tujuan akhir. Meghabiskan
usia di bawah lampu penerang rumah penduduk. Mati karena kehilangan sayap atau
karena tercebur ke dalam baskom yang terisi air. Atau mati di tangan anak-anak
sebagai mainan malam. Mati
demi sebuah kesenangan. Sungguh
mulia. Tragis.
Yehkuning, 7 Desember 2007